Sabtu, 17 Maret 2012

DONGKELAN

EXIXTENSI SENIMAN BONSAI INDONESIA


Adalah salah satu hasrat terbesar manusia agar keberadaannya di muka bumi mendapat tempat dan menyeruak dari kerumunan, menemukan tempat yang membedakannya dari orang lain. Jika bukan karena itu, maka gajah mati takkan meninggalkan gading dan harimau mati tidak akan meninggalkan belang, sebab manusia mati ingin meninggalkan nama. Tak terkecuali seniman.

Dalam kurun seni tradisi, sesungguhnya keberadaan kreator banyak yang tidak teridentifikasi. Bahwa banyak karya seni besar telah lahir sepanjang sejarah kebudayaan, yang dapat dikenali hanyalah raja yang memerintah pada masa tersebut. Memang kebanyakan penciptaan karya seni dipersembahkan secara ekslusif kepada penguasa.

Bonsai di Indonesia, yang tak pelak lagi merupakan produk kesenian, masih belum begitu mengenal terminologi eksistensi seniman, seseorang yang mengubah setonggak dongkelan menjadi komposisi bonsai yang indah. Contoh sederhana, dalam publikasi karya, baik dalam kontes maupun penerbitan gambar, biasanyanya hanya dicantumkan nama pohon, ukuran dan nama pemilik. Nama senimanya hanya diketahui segelintir orang yang mungkin mengenal langsung.

Entah bagaimana mulanya, namun bonsai di Indonesia oleh para pelaku bonsai di Indonesia sendiri masih dianggap sebagai barang klangenan dan bukan produk kesenian. Hal mana tidak mengindahkan posisi senimannya yang telah menggubah komposisi selama bertahun-tahun!
Kontes, sekarang tampaknya masih merupakan satu-satunya dan tolok ukur keindahan karya bonsai. Seperti halnya pada produk klangenan lain (tanaman hias dan hewan pelirahaan), menjadi sarana publisitas untuk menaikkan gengsi dan harga jika menang.

Bahwa seniman bonsai pada akhirnya hanya menjadi orang gajian para kolektor dan terperangkap dalam kesibukan menggarap pohon-pohon banyak kolektor, menjadi alasan mengapa seniman bonsai jarang memunculkan karya atas namanya sendiri untuk mewakili keberadaannya.

Bahwa bonsai adalah produk seni yang terus menerus berubah selama pohon itu hidup, bahkan dapat terjadi restyling pada suatu karya bonsai mengiringi kesehatan atau kematian bagian tubuh tanaman, dapat tetap diatasi dengan membuatkan historical data yang menyertai setiap penampilan bentuk karya. Namun jauh di atas itu, yang menjadi tantangan justru kelegowoan para kolektor agar namanya disandingkan dengan nama kreator karya bonsainya.

Publikasi merupakan aspek penting dalam tindak apresiasi kepada masyarakat luas. Jangan lupa bahwa pengenalan secara terus menerus melalui media publik (selain majalah yang bersifat segmented) adalah cara ampuh membentuk komunitas penikmat awam, suatu komponen yang sangat penting dalam pelengkapan elemen masyarakat seni selain seniman, pemilik/gallery/kolektor, dan kritikus/pengamat. Jika keempat elemen masyarakat seni ini telah eksis maka barulah suatu bentuk karya seni dapat hadir dan diakui masyarakat sebagai produk budaya. Seni artinya totalitas, independensi, ekspresi eksistensi dan kebebasan berkarya.

Jangat lupa, seni juga adalah pengakuan, perubahan nilai dan cara pandang masyarakat serta penerimaan. Sewaktu Kodak pertama kali memproduksi kamera, sebetulnya alat ini bukanlah alat berkesenian melainkan dokumentasi. Namun seiring waktu berjalan dan kegiatan fotografi juga sekarang adalah kegiatan kesenian. Sejak kapan grafitti berubah menjadi mural daripada vandalisme?
Maka, para seniman bonsai Indonesia, menyeruaklah! Mengemukalah! Seperti Chairil Anwar pernah menyebut:
Aku ingin hidup seribu tahun lagi!
Dan
Sekali berarti, sudah itu mati!
Cukuplah.

Sumber : villapohon.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Jika Anda memberikan saran dan pendapat